Perlunya Peran Aktif Orang Tua Dalam Menghindari Demam Ujian Pada Anak

Dec 05, 2017 | / Tips / Umum |
Rate:
Dilihat 935x
Feny sangat terkejut ketika mendapati buah hatinya demam di pagi hari tepat menjelang dilaksanakannya ujian sekolah. Padahal, semalam kondisi Reihan, sang buah hati, baik-baik saja. Rasa panik dan sedih berkecamuk menjadi satu karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dengan kondisi seperti itu, tentu saja Feny tidak bisa memaksa Reihan untuk mengikuti ujian di sekolah, karena harus beristirahat di rumah.

Sebenarnya kondisi kesehatan Reihan yang mengalami gangguan secara tiba-tiba bukan terjadi sekali ini saja. Feny ingat ketika menghadapi ujian semester ganjil, buah hatinya yang saat ini duduk di kelas I SD (Sekolah Dasar) juga mengalami demam secara tiba-tiba. Kini, saat menghadapi ujian tengah semester genap, sakit demam tersebut kembali muncul. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Reihan mengalami demam ujian? Setidaknya, itulah beberapa pertanyaan yang muncul dalam benak Feny, mungkin juga para orang tua lain yang mengalami hal sama.


Apa itu demam ujian?

Istilah demam ujian mungkin terdengar asing di telinga kita, terutama bagi Anda yang tidak pernah mengalaminya. Namun, disadari atau tidak, demam ujian seolah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan anak dalam menjalani pendidikannya. Demam ujian dapat dipahami sebagai suatu kondisi di mana seseorang merasakan kecemasan dan ketakutan yang berlebihan saat akan menghadapi masa ujian sehingga menimbulkan stres. Seseorang yang mengalami stres menandakan bahwa kesehatan mental atau psikologisnya terganggu. Gangguan psikologis tersebut berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan secara fisik. Gangguan ini disebut sebagai somatoform, yakni gangguan psikis yang mempengaruhi fisik.

Bagaimana bisa gangguan psikis mempengaruhi fisik? Logikanya, orang yang mengalami stres atau bahkan depresi senantiasa merasa tidak tenang dan gelisah. Kondisi ini bisa berpengaruh pada pola makan yang tidak teratur atau bahkan kehilangan nafsu makan. Selain itu, orang yang stres juga mengalami gangguan pada pola istirahat, misal tidak bisa tidur atau lebih dikenal dengan istilah insomnia. Gangguan pola makan dan istirahat ini secara lebih lanjut akan berpengaruh pada metabolisme tubuh yang terganggu pula. Hasilnya, muncullah gangguan kesehatan secara fisik baik pusing, demam, migrain, sakit kepala, dan lain sebagainya.

Kondisi psikologis yang terganggu ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga pada anak-anak. Namun, terkadang stres pada orang dewasa tampak lebih jelas dibandingkan anak-anak. Mengapa demikian? Stres pada anak cenderung lebih semu atau tidak terlihat nyata karena dikaburkan dengan aktivitasnya baik bermain ataupun bersosialisasi dengan teman sebaya. Meskipun demikian, hal ini tentu bersifat kasuistik karena tergantung pada karakter masing-masing anak, artinya tidak semua anak bisa meminimalisir tingkat stres yang dialaminya dengan bermain dan bersosialisasi, ada juga yang ‘tenggelam’ di dalamnya sehingga ciri yang terlihat adalah anak menjadi murung, susah makan, atau bahkan lebih agresif.

Kembali pada konteks ujian. Diakui atau tidak, ujian merupakan momen yang menakutkan bagi setiap orang, tidak hanya dewasa tetapi juga anak-anak. Ketika ujian, setiap anak harus menempati bangku yang tersedia, di mana jarak antar-bangku cukup jauh dan dijaga oleh satu atau dua orang guru yang senantiasa mengawasi setiap gerak-gerik anak dari depan kelas atau berjalan mengitari masing-masing anak. Suasana ujian yang tenang mungkin justru dirasakan mencekam oleh anak sehingga menimbulkan ketakutan untuk bergerak bahkan hanya sekadar menoleh. Selain itu, ketakutan tidak bisa mengerjakan soal-soal ujian dalam waktu yang ditentukan juga turut andil dalam memicu timbulnya ‘sindrom’ demam ujian ini.


Peran orang tua dalam mengatasi demam ujian pada anak

Setiap orang tua pastilah menginginkan anaknya tumbuh menjadi pribadi yang pintar, cerdas, dan berprestasi. Salah satu ‘alat’ untuk menguji tingkat prestasi belajar anak tentu saja adalah ujian. Selama proses belajar-mengajar di sekolah, anak telah diajari dengan beragam ilmu pengetahuan. Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman anak terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan, maka dilakukan ujian. Ukurannya, jika anak mampu meraih nilai yang baik dalam ujiannya mengindikasikan bahwa anak sudah memiliki pemahaman yang baik dan dinyatakan berprestasi. Sebaliknya, apabila nilai ujian anak kurang baik menandakan pemahamannya terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan masih kurang baik pula, sehingga dinyatakan belum berprestasi.

Orang tua mana yang mau anaknya dinilai kurang berprestasi? Hampir dapat dipastikan tidak ada orang tua yang menghendaki seperti itu. Salah satu kewajiban dan tanggung jawab orang tua adalah memberikan pendidikan yang layak kepada anak sehingga kelak bisa menjadi bekal untuk meniti karir dan menjalani kehidupan yang lebih baik. Kewajiban dan tanggung jawab tersebut tentunya tidak hanya sekadar menyekolahkan anak, tetapi orang tua juga harus tetap terlibat dalam proses belajar anak terutama dalam lingkungan keluarga. Artinya, orang tua ‘wajib’ untuk berperan aktif dalam membantu proses belajar anak, sehingga anak tidak merasa terbebani dengan segala bentuk tugas belajar yang diberikan baik di sekolah maupun di rumah.

Lantas, apa peran orang tua agar anak tidak mengalami demam ujian? Berikut dapat dijabarkan beberapa peran yang bisa dimainkan oleh para orang tua untuk membantu anaknya agar tidak terkena ‘sindrom’ demam ujian.

Dampingi anak ketika belajar

Orang tua perlu memberi kepercayaan kepada anak termasuk dalam hal belajar. Namun, alangkah lebih baik apabila orang tua tidak melepas anak untuk belajar sendiri. Jika ini yang terjadi, maka orang tua tidak akan mengetahui kendala yang dihadapi anak ketika belajar. Selain itu, orang tua juga tidak akan mengetahui apakah anak benar-benar belajar atau hanya sekadar main-main? Anak yang ‘dilepas’ untuk belajar sendiri cenderung merasakan beban yang lebih berat, karena ia harus mengatasi kesulitan belajarnya sendiri, tanpa ada yang membantu meringankannya, bahkan oleh orang tuanya. Di sinilah anak akan merasa tertekan sehingga mengalami stres tanpa diketahui dan disadari oleh orang tua. Akibatnya, anak mulai berani untuk berbohong seolah semua baik-baik saja demi menyenangkan hati orang tua atau dianggap sebagai anak yang pintar karena mampu belajar sendiri.

Sebagai orang tua tentu memiliki banyak rutinitas yang menyita waktu. Meskipun demikian, sebaiknya Anda tetap meluangkan waktu untuk mendampingi anak belajar. Keberadaan Anda di sisi anak ketika belajar akan memberikan semangat baru dan motivasi baginya. Selain itu, ia akan merasa ‘aman’ karena ada orang yang menjadi tempatnya untuk bertanya ketika menghadapi kendala atau kesulitan mengerjakan PR (pekerjaan rumah) atau sekadar menanyakan istilah atau arti kata yang belum ia mengerti. Satu hal lagi, anak yang didampingi saat belajar setidaknya akan merasa beban atau tekanan belajar yang selama ini menggelayut di pundaknya seolah berkurang. Kondisi ini tentu akan memberikan rasa nyaman kepada anak ketika belajar, sehingga ia merasa lebih rileks.

Beri anak lebih banyak latihan soal

Satu kekhawatiran yang umumnya dirasakan oleh anak ketika menghadapi ujian adalah banyaknya soal yang harus dikerjakan dan diselesaikan dalam batas waktu antara 90 hingga 120 menit. Sebenarnya kekhawatiran tersebut tidak perlu terjadi apabila anak dibiasakan dalam mengerjakan soal-soal latihan. Nah, di sini tugas orang tua adalah memberikan lebih banyak latihan soal kepada anak ketika mendampinginya belajar. Dengan terbiasa mengerjakan latihan soal, anak akan lebih tahu jenis-jenis soal mulai dari pilihan ganda, esai, perbandingan, dan lain sebagainya. Kebiasaan mengerjakan soal-soal latihan di rumah dari buku paket, LKS (Lembar Kerja Siswa), ataupun dari soal yang dibuat sendiri oleh orang tua, setidaknya dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa grogi ketika dihadapkan pada soal-soal ujian. Intensitas latihan soal yang tinggi bisa mendorong anak untuk berpikir lebih kreatif dan imajinatif, sehingga tidak bersifat hafalan.

Menjadi pendidik bukan pemaksa

Sudah dapat dipastikan bahwa semua orang tua menginginkan anaknya berprestasi dan sukses di kehidupan mendatang. Hal inilah yang sering kali menyebabkan orang tua lupa jika anak juga memiliki keinginan dan minat tersendiri pada bidang tertentu. Akibatnya, terjadi pertentangan antara orang tua dengan anak, karena orang tua terlalu memaksakan kehendaknya kepada anak. Sebagai contoh orang tua menginginkan anaknya menjadi seorang dokter, tapi sang anak lebih berminat pada bidang seni atau sastra, maka sebaiknya orang tua mendukung minat anak tersebut dengan mengarahkannya agar tepat pada sasaran. Artinya, sang anak kelak bisa mewujudkan cita-citanya di bidang yang diminati sesuai dengan hati nuraninya.

Di sini, orang tua harus berperan sebagai pendidik, bukan pemaksa. Sebagai pendidik, orang tua diharapkan mampu memberikan pendidikan, bimbingan, dan arahan yang jelas dalam proses menuju kedewasaan. Jika sejak dini anak sudah dicekoki dengan keinginan-keinginan orang tua yang seolah mengintimidasi dan mengancam, maka anak akan tumbuh dalam situasi penuh tekanan yang justru mengakibatkan anak selalu berada dalam ketakutan dan ketergantungan terhadap orang tua.

Dalam konteks menghindari demam ujian, orang tua sebagai pendidik harus berusaha untuk mengikuti keinginan anak dalam belajar. Contohnya, ketika anak ingin belajar mata pelajaran tertentu, biarkan anak mengekplorasi ilmu pengetahuan yang ingin dipelajarinya, jangan justru dilarang meskipun pelajaran tersebut masuk dalam jadwal ujian paling akhir. Adanya minat anak untuk belajar dapat membantunya berkonsentrasi sehingga lebih mudah menangkap dan memahami esensi dari ilmu yang dipelajarinya. Untuk menumbuhkan minat anak belajar mata pelajaran lain, orang tua bisa membujuk dan memberikan pemahaman bahwa mata pelajaran lain juga asyik untuk dipelajari, sehingga anak tertarik.

Ciptakan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan

Suasana belajar yang santai dan menyenangkan akan menumbuhkan persepsi positif anak terhadap aktivitas belajar. Misalnya belajar sambil bermain, kuis atau tebak-tebakan, ataupun lomba menjawab pertanyaan akan terekam dalam benak anak bahwa belajar itu suatu aktivitas yang menyenangkan dan tidak membosankan. Dengan begitu, anak akan selalu termotivasi untuk belajar terus-menerus.

Berbeda kondisinya apabila suasana belajar mencekam, di mana orang tua tidak memiliki kesabaran dalam mengajari anak sehingga mudah terpancing emosi ketika sang anak tidak bisa menjawab pertanyaan atau soal yang diberikan. Emosi ini bisa terwujud dalam kata-kata kasar, makian, bahkan tidak jarang disertai dengan kekerasan fisik seperti menjewer, mencubit, memukul, atau menoyor (mendorong kepala dengan jari tangan) kepala anak karena dianggap tidak bisa berpikir. Suasana belajar seperti ini justru menimbulkan trauma pada anak dan memunculkan persepsi negatif bahwa belajar merupakan aktivitas yang menakutkan dan sangat tidak menyenangkan. Akibat lebih lanjut, tentu anak menjadi malas belajar. Jika sudah begini, siapa yang rugi dan repot? Selain anak, orang tua yang justru akan kerepotan karena harus membujuk dengan lebih keras agar anaknya mau belajar. Jadi, tanamkan sejak dini pada anak bahwa belajar adalah aktivitas yang menyenangkan.

Jadilah konsultan belajar bagi anak

Selain berperan sebagai pendidik, orang tua juga harus mampu berperan sebagai konsultan. Dibanding anak, umumnya orang tua memiliki wawasan dan pengalaman yang lebih banyak. Berkenaan dengan hal tersebut, orang tua dituntut untuk mampu menjadi ahli yang bisa memberikan petunjuk, pertimbangan, dan nasihat kepada anak. Sederhana saja, orang tua hanya perlu menjawab setiap pertanyaan tentang segala sesuatu yang belum dimengerti oleh anak. Tentunya orang tua perlu memberikan penjelasan dengan bahasa yang mudah dipahami dan dicerna oleh anak. Dengan demikian, anak akan menganggap bahwa orang tuanya bisa menjadi tempat baginya untuk bertanya dan berbagi segala hal yang dipikirkan dan dirasakannya.

Bangun kepercayaan diri anak

Salah satu penyebab munculnya ‘sindrom’ demam ujian adalah ketakutan yang berlebihan sehingga mengikis rasa percaya diri anak. Oleh sebab itu, orang tua harus mampu membangun kepercayaan diri anak. Caranya, memberi motivasi tanpa putus bahwa anak memiliki kemampuan dan pengetahuan yang baik, sehingga pasti bisa mengerjakan setiap soal dalam lembar ujian. Jangan pernah takut salah, karena dari kesalahan itu justru akan menjadi dasar untuk melakukan perbaikan. Selain itu, kesalahan yang pernah dilakukan bisa menambah pengetahuan, sehingga anak bisa mengetahui hal yang salah dan benar. Artinya, anak memiliki perbandingan antara dua hal yang berbeda dan bisa menentukan mana yang benar dengan yang salah.



Sesibuk apapun orang tua dalam mencari nafkah, harus mampu menempatkan pendidikan anak dalam skala prioritas. Dengan demikian, orang tua bisa memantau setiap tahapan perkembangan anak dalam menjalani proses belajar. Peran aktif orang tua dalam pendidikan anak bisa menjadi dorongan semangat sehingga anak senantiasa berada dalam lingkungan yang kondusif, nyaman, dan menyenangkan, bukan dalam lingkungan penuh tekanan yang justru menjadikan anak stres sehingga mengalami gangguan psikis yang bisa berpengaruh pada gangguan kesehatan fisik. Bagaimana, siapkah Anda berperan aktif dalam proses belajar anak Anda? Demi masa depan anak, siap tidak siap, harus SIAP!
Tips Pilihan Lainnya: